Hingga saat ini, penyandang disabilitas di Indonesia masih dilingkupi oleh stigma negatif baik dalam keluarga, masyarakat maupun negara. Begitu lahir penyandang disabilitas langsung mengalami diskriminasi, stigma dan berbagai lebel negatif menempel. Keluarga dan masyarakat mengatakan bahwa orangtua penyandang disabilitas berbuat dosa, kutukan, karma dsb. Penyandang disabilitas dianggap sebagai beban, merepotkan, memalukan, tidak berguna. Selain itu terjadi pula Penolakan, isolasi, bahkan dibuang. Penyandang disabilitas sebagai anggota keluarga, anggota masyarakat, warga negara hak-haknya diabaikan seperti hak untuk mendapatkan kasih sayang, hak untuk mendapatkan pendidikan, hak untuk mendapatan akses kesehatan, hak atas informasi, hak untuk transportasi dll.
Karena orang tua malu maka anak disembunyikan, dipasung bahkan ada yang dibuang. Karena disabilitas, anak tidak disekolakan ke perguruan tinggi seperti saudaranya yang non disabilitas. Banyak suami yang meninggalkan keluarganya karena istrinya melahirkan anak dengan disabilitas. Masyarakat, lingkungan mendiskriminasi penyandang disabilitas dengan tidak mengikutsertakan dalam kegiatan masyarakat seperti peringatan hari kemerdekaan, kegiatan Pemilu (Tidak didata sebagai pemilih), tidak dikutsertakan dalam musrembang dll.
Stigma negatif yang ada dikalangan pemerintahan yakni adanya pendapat umum bahwa penyandang disabilitas merupakan domain kemensos. Berbagai kementrian tidak mau berfikir panjang, tidak mau peduli, merasa terbebani dan repot untuk melaksanakan pemenuhan hak penyandang disabilitas dan akhirnya melempar urusannya ke kemensos. Pemerintah harus segera menghapuskan stigma yang merugikan penyandang disabilitas. Menurut UU No. 11 Tahun 2009 tentang kesejahteraan sosial, penyandang disabilitas adalah Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) yang disamakan dengan pengguna NARKOBA, Gelandangan, Pengemis, dan pekerja seks komersial. Dengan demikian maka penyandang disabilitas seutuhnya menjadi domain KEMENSOS.
Sejak PBB mencanangkan UN Declaration No. 61/106/2006 Convention On The Rights Of Persons With Disabilities (CRPD) penanganan penyandang disabilitas yang semula berdasarkan paradigma charity based ( Belas Kasihan / Kesejahteraan sosial) berubah menjadi paradigma Rights Based (hak asasi). Dalam perkembangan pada UU No. 19 Tahun 2011 Tentang Pengesahan Konvensi Hak Hak Penyandang Disabilitas dan juga UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas dinyatakan bahwa permasalahan penyandang disabilitas bukan kesejahteraan sosial. Masalah penyandang disabilitas ialah interaksi antara orang dengan berbagai keterbatasan dengan lingkungan dan sikap tidak ramah dari keluarga, masyarakat, negara. Hal ini mengakibatkan penyandang disabilitas menjadi tidak berdaya, tidak mampu (Disable) untuk dapat berpartisipasi penuh atas dasar kesetaraan disemua bidang kehidupan.
Di satu pihak, Penyandang disabilitas dengan keterbatasan fisik, mental, intelektual, sensorik seperti apa adanya tidak bisa banyak berubah dan dilain pihak, lingkungan dan sikap masyarakat, negara yang tidak ramah bisa dirubah dengan cara menyediakan fasilitas aksesibilitas, akomodasi yang layak seperti menyediakan bahasa isyarat (BISINDO), screan reader serta memberikan kesempatan dll. Dengan kondisi demikian maka penyandang disabilitas menjadi berdaya, mampu (able) untuk berpartisipasi penuh dalam berbagai bidang kehidupan dan pembangunan.
UUD 1945 pasal 28 H ayat 2 berbunyi Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.Dengan demikian amanat UU 1945 selaras dengan apa yang tercantum dalam UU Pengesahan Hak Hak penyandang Disabilitas dan UU penyandang disabilitas. UUD 1945 lebih menegaskan bahwa setiap orang (termasuk Penyandang Disabilitas) berhak atas perlakuan khusus, kemudahan, kesempatan dan manfaat yang sama, serta keadilan dan persamaan.
UUD 1945 pasal 28 I ayat 2 secara jelas memerintahkan penghapusan diskriminasi untuk siapapun atas dasar apapun. Ayat tersbut menyatakanSetiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.
Dalam rangka implementasi UU No. 8 tahun 2016 tentang penyandang disabilitas maka stigma negatif penyandang disabilitas yang kental di lingkungan keluarga masyarakat dan negara harus segera dihapus guna membebaskan penyandang disabilitas dari berbagai bentuk diskriminasi dan pengabaian semua hak hak sebagai anggota keluarga, anggota masyarakat dan sebagai warganegara penuh. Mau atau tidak mau keluarga masyarakat dan negara harus berubah dengan membongkar pandangan stigma negatif yang kental dan menjadi pandangan yang berdasarkan hak asasi manusia indonesia seutuhnya sebagaimana warga negara pada umumnya.
Dalam mukadimah UU No. 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas dinyatakan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia menjamin kelangsungan hidup setiap warga negara, termasuk para penyandang disabilitas yang mempunyai kedudukan hukum dan memiliki hak asasi manusia yang sama sebagai Warga Negara Indonesia dan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari warga negara dan masyarakat Indonesia merupakan amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, untuk hidup maju dan berkembang secara adil dan bermartabat.
Negara yang dalam hal ini adalah pemerintah cq berbagai kementrian sebagai pelaksana penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak penyandang disabilitas (Bab IV UU No 8 tahun 2016 tentang penyandang disabilitas ) dalam melaksanakan pembangunan di masing masing sektor wajib memberlakukan mengedepankan asas Penghormatan terhadap martabat, Otonomi inividu, Tanpa diskriminasi, Partisipasi penuh, Keragaman manusia dan kemanusiaan, Kesamaan kesempatan, Kesetaraan, Aksesibilitas, Kapasitas yang terus berkembang dan identitas anak, Inklusif dan Perlakuan khusus, serta perlindungan lebih.
Menghapus stigma negatif yang kental dengan cara pandang hak asasi tidaklah mudah.Perubahan harus dimulai dan dicoba demi pembangunan kesejahteraan seluruh bangsa indonesia. Pemerintah, dalam hal ini diwakili oleh berbagai kementrian harus mengingat program Pembangunan Berkelanjutan (SDG’S) 2030 yakni LEAVE NO ONE BEHIND (TAK SEORANGPUN TERTINGGAL)
Hari kesaktian pancasila
Sila kedua : kemanusiaan yang adil dan beradab.
Sila kelima : keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia
Jakarta, 1 Juni 2017
Pokja Implementasi UU Penyandang Disabilitas